Allah Maha Melihat!



oleh Musthofa Sukawi

Seperti biasa, pagi itu saya masuk ke ruangan untuk mengajar siswa-siswa sekolah menengah atas di sebuah sekolah swasta. Di sekolah itu, saya mengampu pelajaran agama Islam. Hari itu merupakan hari pertama saya masuk, setelah seminggu para siswa melaksanaan ujian semester. Sudah menjadi kebiasaan, hari pertama masuk pasca ujian semester adalah hari pembagian lembar hasil ujian yang telah dinilai guru pengampu.

Sesaat setelah membagikan lembar hasil ujian yang telah saya nilai, saya menyampaikan beberapa patah kata kepada anak didik saya.
“Saya senang melihat nilai-nilai kalian yang bagus. Tapi, apa benar itu hasil pekerjaan kalian sendiri?”

Beraneka ragam reaksi siswa ketika saya melempar pertanyaan itu. Ada yang tersenyum, ada yang tertawa, ada yang diam dan ada juga yang menyahut dengan suara lantang, “Seratus persen pekerjaan sendiri, Pak!”
“Saya berharap seperti itu. Nilai itu kalian peroleh dari jerih payah kalian sendiri,” saya menanggapinya.

Setelah suana kelas tampak lengang, perlahan saya berdiri di hadapan siswa. Saya mengambil posisi berdiri di tengah, membelakangi papan tulis.

“Anak-anakku, dalam hidup ini kita harus jujur. Jujur kepada diri sendiri, jujur kepada orang lain dan jujur kepada Tuhan.”
Sesaat saya berhenti, sambil memperhatikan anak-anak yang diam seribu bahasa, serius mendengarkan ucapan saya.

“Saya tidak berprasangka buruk dengan nilai yang kalian peroleh. Tapi saya hanya ingin kalian semua jujur. Perbuatan menyontek, bertanya kepada teman di saat ujian merupakan perbuatan yang tercela. Dan jangan kalian menganggapnya sepele.”

Anak-anak tampak mulai terhanyut dengan ucapan saya. Dengan nada lirih, saya mencoba menyadarkan anak didik saya.
“Coba saya bertanya kepada kalian, seandainya saat kalian ujian, kemudian di empat sudut ruangan tempat ujian kalian ditunggui ayah, ibu, kakak dan adik kalian, apakah kalian berani untuk menyontek atau bertanya kepada teman kalian?”

“Tidak!!” Serentak jawaban mereka yang kemudian disusul suara tawa.

“Kalau kalian menjawab tidak, saya menjadi ragu akan kualitas keimanan kalian.” Celetuk saya yang mengejutkan para siswa. Salah seorang siswa yang duduk di bangku paling depan mengangkat tangannya seraya berucap, “Maaf, Pak. Kok bisa begitu?”

“Ya memang begitu. Keimanan kalian kepada Allah masih sangat minim, masih sebatas pada penglihatan mata manusia. Karena para realitanya, kalian berbuat atau tidak berbuat tergantung dilihat manusia atau tidak. Buktinya, kalian tidak akan berani menyontek saat ujian ketika ditunggui pengawas atau orang tua kalian. Jadi, intinya kalian masih belum bisa merasa bahwa ada Dzat Yang Maha Mengawasi, yaitu Allah.”

Semua siswa menunduk. Saya berhenti sesaat. Pandangan saya menyapu ke arah wajah semua anak didik saya.

“Bagaimapun niatnya, perbuatan orang yang tidak merasa diawasi Tuhan adalah perbuatan tercela. Bahkan bisa mencemari akidah. Jika seseorang melakukan perbuatan buruk dengan berpraduga bahwa Allah tidak melihat kita, berarti kita sudah tidak beriman lagi kepada Allah. Karena Allah Dzat Yang Maha Melihat. Sedangkan jika kalian melakukan perbuatan buruk dengan berpraduga bahwa Allah melihat kita, berarti sama artinya kita menentang Allah.”
Anak-anak itu semakin menundukkan wajah, dan aku semakin mencoba memasukkan nasehat baik ke dalam hati mereka.

“Bagaimana tidak menantang Allah. Coba kalian bayangkan, misalkan ada seorang Bupati menetapkan peraturan kepada warganya: Dilarang membuang sampah di sungai! Kemudian, saat itu bapak Bupati berada di tepi sungai, kemudian kamu membuang sampah di hadapannya seraya berucap, ‘Permisi Bapak Bupati’.”
Keadaan semakin lengang. Di tengah kelengangan mereka, saya ucapankan sebagai kata penutup, “Bagaimana sekarang, apakah kalian masih berani untuk menyontek atau melakukan perbuatan tercela?”

0 komentar:

Posting Komentar